BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Era globalisasi saat ini merupakan sesuatu yang tidak dapat kita hindari oleh seluruh masyarakat dunia. Bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia memiliki kewajiban untuk secara terus-menerus berpartisipasi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). World Bank dalam Mardiasmo (2004:18) mendefenisikan Good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang sejalan dengan prisip demokrasi, penghindaran salah alokasi dana investasi, pencegahan korupsi baik secara politik dan administratif. Kepemerintahan yang baik setidaknya ditandai dengan tiga elemen yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Partisipasi maksudnya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Sedangkan akuntabilitas adalah pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan.
Untuk mewujudkan good governance diperlukan perubahan paradigma pemerintahan yang mendasar dari sistem lama yang serba sentralistis, dimana pemerintah pusat sangat kuat dalam menentukan kebijakan. Paradigma baru tersebut menuntut suatu sistem yang mampu mengurangi ketergantungan dan bahkan menghilangkan ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, serta bisa memberdayakan daerah agar mampu berkompetisi baik secara regional, nasional maupun internasional. Menanggapi paradigma baru tersebut maka pemerintah memberikan otonomi kepada daerah seluas-luasnya yang bertujuan untuk memungkinkan daerah mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri agar berdaya guna dan berhasil guna dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan serta dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan otonomi seluas-luasnya dan secara proporsional kepada daerah yang diwujudkan dengan adanya pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.
Untuk mewujudkan good governance tersebut dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, maka diperlukan reformasi pengelolaan keuangan daerah dan reformasi keuangan negara. Peraturan perundangan yang berkenaan dengan pengelolaan keuangan daerah yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004. Sedangkan tiga paket perundang-undangan dibidang keuangan negara yang menjadi landasan hukum bagi reformasi di bidang keuangan negara sebagai upaya untuk mewujudkan good governance yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pengawasan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara yang memayungi pengelolaan keuangan negara maupun keuangan daerah.
Seiring dengan reformasi di bidang keuangan negara, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan di berbagai bidang untuk mendukung agar reformasi di bidang keuangan negara dapat berjalan dengan baik. Salah satu perubahan yang signifikan adalah perubahan di bidang akuntansi pemerintahan karena melalui proses akuntansi dihasilkan informasi keuangan yang tersedia bagi berbagai pihak untuk digunakan sesuai dengan tujuan masing-masing. Perubahan dibidang akuntansi pemerintahan yang paling diinginkan adalah adanya standar akuntansi pemerintah. Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada standar akuntansi pemerintah sesungguhnya adalah dalam rangka peningkatan kualitas laporan keuangan, sehingga laporan keuangan yang dimaksud dapat meningkatkan kredibilitasnya dan pada gilirannya akan dapat mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Sehingga, good governance dapat tercapai.
Penyusunan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) memerlukan waktu yang lama. Awalnya, dengan berlakunya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, daerah diberi kewenangan yang luas untuk menyelenggarakan pengelolaan keuangannya sendiri. Hal ini tentu saja menjadikan daerah provinsi, kabupaten, dan kota menjadi entitas-entitas otonom yang harus melakukan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangannya sendiri mendorong perlunya standar pelaporan keuangan. Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam pasal 35 mengamanatkan bahwa “penatausahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah”, meskipun belum ada standar akuntansi pemerintahan yang baku.
Belum adanya standar akuntansi pemerintahan yang baku memicu perdebatan siapa yang berwenang menyusun standar akuntansi keuangan pemerintahan. Sementara itu, pelaporan dan penyajian keuangan harus tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundangan meskipun standar belum ada. Untuk mengisi kekosongan sambil menunggu penetapan yang berwenang menyusun dan menetapkan standar akuntansi pemerintahan dan terutama upaya untuk mengembangkan sistem pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntable maka pemerintah dalam hal ini Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan mengambil inisiatif untuk membuat pedoman penyajian laporan keuangan. Maka lahirlah sistem akuntansi keuangan daerah dari Departemen Keuangan yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.07/2001 tanggal 5 Juni 2001. Dari Departemen Dalam Negeri keluar Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tanggal 18 Juni 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertangungjawaban dan Pengawasan Keuangan Derah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Kedua keputusan ini bukanlah standar akuntansi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 maupun standar akuntansi pada umumnya.
Menteri Keuangan sebenarnya mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 308/KMK.012/2002 tanggal 13 Juni 2002 yang menetapkan adanya Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah (KSAPD). Keanggotaan Komite ini terdiri dari unsur Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Organisasi Profesi Akuntan IAI, dan juga kalangan perguruan tinggi. Dalam keputusan tersebut juga diatur bahwa standar akan disusun oleh KSAPD tetapi pemberlakuannya ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan. KASPD bekerja dan menghasilkan Draft Publikasian Standar Akuntansi berupa Kerangka Konseptual dan tiga Pernyataan Standar. KSAPD melakukan due process atas keempat draft ini sampai dengan meminta pertimbangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK berpendapat belum dapat memberikan persetujuan atas Draft SAP tersebut karena belum mengakomodasi seluruh unsur yang semestinya terlibat dan penyusun tidak independen karena diangkat hanya dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan.
Perkembangan berikutnya, KSAPD tetap bekerja dengan menambah pembahasan atas delapan draft baru yang dianggap diperlukan dalam penyusunan laporan keuangan pemerintah. Draft ini juga mengalami due process yang sama seperti sebelumnya. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara yang mengamanatkan perlunya standar akuntansi, KSAPD terus berjalan. Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa bentuk dan isi laporan pertanggunggjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Selanjutnya pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan bahwa standar akuntansi pemerintahan disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari BPK.
Kemudian pada tahun 2004 terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara kembali mengamanatkan penyusunan laporan pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Pasal 56 ayat 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Pasal 57 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntasi Pemerintahan. Pasal 57 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Komite Standar Akuntansi Pemerintahan bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku umum. Pasal 57 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pembentukan, susunan, kedudukan, keanggotaan, dan masa kerja Komite Standar Akuntansi Pemerintahan ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Komite standar yang dibentuk oleh Menteri Keuangan sampai dengan pertengahan tahun 2004 telah menghasilkan draf SAP yang terdiri dari Kerangka konseptual dan 11 pernyataan standar, kesemuanya telah disusun melalui due procees. Proses penyusunan (Due Process) yang digunakan ini adalah proses yang berlaku umum secara internasional dengan penyesuaian terhadap kondisi yang ada di Indonesia. Penyesuaian dilakukan antara lain karena pertimbangan kebutuhan yang mendesak dan kemampuan pengguna untuk memahami dan melaksanakan standar yang ditetapkan.
Tahap-tahap penyiapan SAP yaitu (Supriyanto:2005):
a. Identifikasi Topik untuk Dikembangkan Menjadi Standar
b. Pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) di dalam Komite
c. Riset Terbatas oleh Kelompok Kerja
d. Penulisan draf SAP oleh Kelompok Kerja
e. Pembahasan Draf oleh Komite Kerja
f. Pengambilan Keputusan Draf untuk Dipublikasikan
g. Peluncuran Draf Publikasian SAP (Exposure Draft)
h. Dengar Pendapat Terbatas (Limited Hearing) dan Dengar Pendapat Publik (Publik Hearings)
i. Pembahasan Tanggapan dan Masukan Terhadap Draf Publikasian
j. Finalisasi Standar
Sebelum dan setelah dilakukan public hearing, Standar dibahas bersama dengan Tim Penelaah Standar Akuntansi Pemerintahan BPK. Setelah dilakukan pembahasan berdasarkan masukan-masukan komite melakukan finalisasi standar kemudian komite meminta pertimbangan kepada BPK melalui Menteri Keuangan. Namun draf SAP ini belum diterima oleh BPK karena komite belum ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Suhubungan dengan hal tersebut dan atas amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004, keluarlah Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2004 yang menetapkan keanggotaan komite dan namanya pun berubah menjadi Komite Standar Akuntansi Pemerintah (KSAP). Keanggotaan KSAP terdiri dari sembilan orang yang seluruhnya adalah orang-orang yang bekerja dalam KSAPD sesuai keputusan Menteri Keuangan Nomor 308/KMK.012/2002. Komite tersebut segera bekerja untuk menyempurnakan kembali draf SAP yang pernah diajukan kepada BPK agar pada awal tahun 2005 dapat segera ditetapkan.
Pada tahun 2004 juga telah terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 184 menyebutkan bahwa laporan keuangan pemerintah daerah disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Draf SAP diajukan kembali kepada BPK pada bulan Nopember 2004 dan mendapatkan pertimbangan dari BPK pada bulan Januari 2005. BPK meminta langsung kepada Presiden RI untuk segera Menetapkan Standar Akuntansi Pemerintahan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Proses penetapan PP SAP pun berjalan dengan Koordinasi antara Sekretariat Negara, Departemen Keuangan, dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta pihak terkait lainnya hingga penandatanganan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan oleh Presiden pada tanggal 13 Juni 2005. Dari uraian diatas dapat dikemukakan bahwa dengan terbitnya Standar Akuntansi Pemerintah selain untuk mewujudkan good governance juga merupakan jawaban atas penantian adanya pedoman pelaporan keuangan yang dapat berterima umum yang telah diamanatkan oleh beberapa peraturan perundang-undangan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Undang-Undang 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah ini menjadi dasar bagi semua entitas pelaporan dalam menyajikan laporan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada berbagai pihak khususnya pihak-pihak di luar eksekutif. Standar akuntansi berguna bagi penyusun laporan keuangan dalam menentukan informasi yang harus disajikan kepada pihak-pihak di luar organisasi. Para pengguna laporan keuangan di luar organisasi akan dapat memahami informasi yang disajikan jika disajikan dengan kriteria/persepsi yang dipahami secara sama dengan penyusun laporan keuangan. Bagi auditor, khususnya eksternal auditor, standar akuntansi digunakan sebagai kriteria dalam menilai informasi yang disajikan apakah sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum. Dengan demikian SAP menjadi pedoman untuk menyatukan persepsi antara penyusun, pengguna, dan auditor.
Penyusunan laporan keuangan yang berpedoman pada standar akuntansi pemerintah sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan good governance. Alasannya adalah terpenuhinya tiga elemen good governance yaitu akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi.. Pertama, akuntabilitas karena dengan adanya standar, pengungkapan efektivitas dan efisiensi APBN/APBD menjadi bersifat kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, transparansi karena dengan adanya standar, BPK menjadi mudah menyingkat tempat-tempat sembunyi korupsi karena mempunyai basis baku, mantap dan komprehensif dalam tugas pemeriksaan keuangan dan audit atas laporan keuangan. Ketiga, partisipasi karena dengan adanya standar, rakyat pada tiap daerah melalui DPRD makin mampu mengendalikan keuangan daerahnya karena pemerintah tidak bisa mencatat pemakaian sumber daya sesuai keinginannya.
Lampiran IV Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 903/2429/SJ tahun 2005 menyebutkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah mulai berlaku untuk pelaporan tahun anggaran 2005. Akibatnya, penyusunan dan penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 menurut SAP akan mengalami kesulitan karena pada tahun 2005 dasar hukum yang dipakai pemerintah daerah dalam penyusunan dan penyajian laporan pertangungjawaban keuangan daerah adalah Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menyusun strategi implementasi penyajian laporan keuangan Tahun anggaran 2005 menurut SAP. Strategi tersebut dituangkan dalam bentuk peraturan kepala daerah, tetapi Pemerintah Kota Blitar belum melaksanakannya. Untuk tahun anggaran 2005, berarti pemerintah daerah menyajikan laporan keuangan dalam dua versi, yaitu berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005.
Penyajian laporan keuangan tahun anggaran 2005 sesuai SAP dapat dilakukan dengan teknik memetakan atau konversi ketentuan-ketentuan di Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 ke dalam ketentuan-ketentuan SAP. Konversi mencakup (KSAP:2006):
a. Jenis laporan
Laporan keuangan menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 tahun 2002 terdiri atas Laporan Perhitungan APBD, Nota perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca Daerah. Laporan keuangan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus kas, dan Catatan atas laporan keuangan.
b. Basis akuntansi
Basis akuntansi yang digunakan dalam laporan keuangan daerah menurut Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 adalah basis kas modifikasi. Maksudnya transaksi penerimaan dan pengeluaran kas dibukukan pada saat uang diterima atau dibayar (dasar kas) dan pada akhir periode dilakukan penyesuaian untuk mengakui transaksi dan kejadian dalam periode berjalan meskipun penerimaan atau pengeluaran kas dari transaksi dan kejadian yang dimaksud belum terealisasi. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 adalah basis kas menuju akrual (cash toward accrual). Maksudnya basis kas untuk pendapatan dan beban, sedangkan basis akrual untuk aktiva, kewajiban, dan ekuitas dalam neraca.
c. Penilaian pos-pos laporan keuangan, khususnya aktiva.
d. Struktur APBD, terutama struktur belanja
e. Klasifikasi anggaran pendapatan dan belanja, serta klasifikasi aset, kewajiban, ekuitas, arus kas
f. Catatan atas laporan keuangan
Catatan atas laporan keuangan merupakan komponen laporan keuangan yang baru yang kedudukannya menggantikan Nota Perhitungan APBD. Catatan atas laporan keuangan sebagaimana diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) Nomor 4 belum memperoleh porsi pengaturan secara cukup dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002. Oleh karena itu penyusunan Catatan atas laporan keuangan dapat langsung mengacu kepada PSAP Nomor 4 sedangkan materi dari Nota Perhitungan Anggaran digunakan sebagai salah satu bahan.
Untuk Pemerintah Kota Blitar, konversi tidak mencakup 3 hal. Pertama, basis akuntansi untuk aktiva, kewajiban, dan ekuitas masih menggunakan basis kas modifikasi, sedangkan untuk pendapatan dan belanja telah menggunakan basis kas. Saldo aktiva, kewajiban, dan ekuitas tetap sama jika menggunakan basis kas modifikasi atau basis akrual sehingga keadaan ini tidak menyebabkan perbedaan saldo. Kedua, penilaian aktiva karena Pemerintah Kota Blitar belum melakukan depresiasi atas aset tetapnya dan penilaian atas Investasi jangka panjang, khususnya saham yang masih berdasarkan harga perolehan. Ketiga,catatan atas laporan keuangan.
Mengacu pada permasalahan yang kemungkinan mucul sehubungan dengan diterbitkannya PP No 24 tahun 2005 tentang Standart Akuntansi Pemerintah sebagaimana yang diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “Analisis Penyajian Laporan Keuangan Daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintah (SAP)” ( Studi kasus pada Pemerintah Kota Blitar)
1.2 Rumusan masalah
a. Bagaimana bentuk laporan keuangan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 serta perbedaan antara dua ketentuan tersebut dalam hal penyajian laporan keuangan daerah?
b. Bagaimana teknik konversi untuk menyajikan laporan keuangan daerah dari ketentuan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 ke ketentuan di Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005?
c. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi Pemerintah Kota Blitar dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005?
1.3 Pembatasan masalah
Agar dalam pembahasan pokok permasalahan lebih terfokus, maka penulis memberi batasan pada perumusan masalah yang telah dibuat, yaitu:
a. Penyajian laporan keuangan yang akan diteliti dibatasi pada lingkungan yang terbatas yaitu Pemerintah Kota Blitar.
b. Penyajian laporan keuangan daerah yang diteliti dibatasi pada Neraca, Laporan Arus Kas, dan Laporan Realisasi Anggaran.
c. Penulis membatasi pembahasan penyajian laporan keuangan untuk tahun anggaran 2005.
d. Pengidentifikasian masalah yang muncul hanya dibatasi pada saat penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 di Pemerintah Kota Blitar.
1.4 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui bentuk dan teknik penyajian laporan keuangan daerah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
b. Mengetahui kendala-kendala yang dihadapi pemerintah daerah dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005
1.5 Manfaat Penelitian
a. Sebagai bahan penyusunan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh derajat kesarjanaan Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.
b. Menguraikan bentuk dan teknik penyajian laporan keuangan suatu daerah yang sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan kendala-kendala yang dihadapi suatu pemerintah daerah tertentu dalam melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005.
c. Menambah wacana pengetahuan dan penelitian dalam akuntansi sektor publik melalui pengembangan akuntansi pemerintahan untuk diteruskan dalam penelitian lainnya yang relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar